KH Abdullah Faqih atau lebih dikenal Kiai Faqih merupakan anak KH Rofi'i Zahid yang lahir pada 2 Mei 1932 di Mandungan, Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Kiai Faqih memimpin Pondok Pesantren Langitan sejak tahun 1971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid. Ia didampingi pamannya, KH Ahmad Marzuki Zahid.
Ponpes Langitan sendiri didirikan 1852 oleh KH Muhammad Nur asal Tayuban, Rembang, Jawa Tengah. Saat dipimpin KH Faqih ponpes lebih terbuka, termasuk mengembangkan ilmu komputer, tetapi tetap mempertahankan salafiyah. Saat ini di Ponpes Langitan ada sekitar 3.000 santri.
Kiai Faqih pernah berguru ke Mbah Abdur Rochim, di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ia juga pernah tinggal di Mekkah, Arab Saudi, belajar ke Sayid Alwi bin Abbas Al Maliki, ayah Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki. Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki tercatat lima kali berkunjung ke Ponpes Langitan.
Kiai Faqih termasuk salah satu Kyai Khos atau Kiai Utama. Syarat Kyai Khos punya wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi dan jauh dari keinginan duniawi.
Ia tokoh sederhana, istiqomah, dan alim yang bukan sekadar pandai mengajar. Ia sekaligus menjadi teladan di antaranya selalu shalat berjamaah dan menjaga kebersihan.
Nama KH Faqih dikenal luas saat Pemilihan Presiden 1999. Saat itu ada perbedaan pendapat terkait pencalonan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden yang dipelopori poros tengah. Sejumlah kiai sepuh Nahdlatul Ulama mengadakan pertemuan di Langitan, yang memunculkan Poros Langitan.
Dua hari menjelang Pilpres 1999, KH Hasyim Muzadi menemui Gus Dur untuk menyampaikan pesan Kiai Faqih. Isinya, jika Gus Dur maju dalm pilpres, ulama akan mendoakan, Gus Dur harus menjaga keutuhan di Partai Kebangkitan Bangsa yang mulai retak, serta menjaga hubungan baik kalangan nahdliyin dan pendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Menurut Gus Dur (almarhum), KH Faqih termasuk seorang wali. Kewaliannya bukan lewat tariqat atau tasawuf, tapi karena kedalaman ilmu fiqihnya. Gus Dur sangat hormat dan patuh kepada Kiai Faqih.
Pada 31 Maret 2007 digelar deklarasi Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Ada 17 kiai yang merumuskan berdirinya PKNU agar tidak menyimpang dari syar'i, satu di antaranya KH Abdullah Faqih. Selain dia, ada KH Ma'ruf Amin (Banten), KH Abdurrochman Chudlori (Magelang), KH Ahmad Sufyan Miftahul Arifin (Situbondo), KH M Idris Marzuki (Lirboyo Kediri), KH Ahmad Warson Munawir (Krapyak Yogyakarta), dan KH Muhaimin Gunardo (Temanggung).
Juga ada KH Abdullah Sachal (Bangkalan), KH Sholeh Qosim (Sidoarjo), KH Nurul Huda Djazuli (Ploso Kediri), KH Chasbullah Badawi (Cilacap), KH Abdullah Adzim Abdullah Suhaimi (Mampang Prapatan Yogyakarta), MH Mas Muhammad Subadar (Pasuruan), KH A Humaidi Dakhlan (Banjarmasin), KH Thahir Syarkawi Pinrang Sulawesi Selatan), KH Aniq Muhammadun (Pati), Habib Hamid bin Hud Al Athos (Cililitan Jawa Tengah).
Nama besar Kiai Faqih sering dimanfaatkan untuk kepentingan politis. Saat ada pemilihan kepala daerah, tidak sedikit calon yang memohon dukungan dan restunya.
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalahtajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Athoillahal-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab.Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yangberujung pada Bani Yastrib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arabal-Aribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini.Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipunnamanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkantidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazanibisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendirithariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Athoillah dalam kitabnyalathoiful Minan Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadapsyaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan:“Demi Allah, kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak akuketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding.
Keluarga Ibnu Athoillah adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama,kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya.Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariahseperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah padamasa Ibnu Athoillah memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karenaiskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits,usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokohtasawwuf dan para Auliya’Sholihin. Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Athoillah tumbuh sebagaiseorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terusberlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Athoillah menceritakan dalam kitabnya Lathoiful minan Bahwa kakeknyaadalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akanserangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Athoillah yaitu Abul Abbasal-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (ibnuathoillah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang,al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersamadengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya padanabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” wahaimuhammad.. Kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung padamereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak,, aku mengharap agar kelakakan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”.Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Athoillah) demi orang yang alim fiqih ini.
Pada akhirnya Ibn Atho’illah memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar.Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampaibisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Athoillah menjadi tiga masa :
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmuagama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari paraalim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruhpemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karenakefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Athoillah bercerita:“Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi,yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwayaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaimadanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya.
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburukejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya,Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya kekairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketikabertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambilthariqah langsung dari gurunya ini.Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatuketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Diabertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf.Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?.setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untukmendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkansejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akankelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengantekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dansebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadiguru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagiallah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinyasemakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampaiia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali denganmasuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sangguru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak beranimemutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi,dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempataku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliaumengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya ibnunaasyi. Duludia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakansedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata :“Tuanku, apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini danberkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan: “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah ditentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk dirikubeliau berkata: Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka samasekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampaidia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebarsemacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Danalhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalamhatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo.Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan ibnuathoillah dalamilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlahmenurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir denganmakhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontroldirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantapdengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapankhalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan,kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Athoillah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yangtingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang iasujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untukmasuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.
Ibnu Athoillah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini iaemban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah kekairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Athoillah berceramah di Azhar dengan tema yangmenenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan denganriwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidakheran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Halsenada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Athoillah adalah orangyang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yangbanyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyaipengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahlitariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah dihay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorangahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab Tobaqoh al-syafiiyyah al-Kubro.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangansebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan:syaikhkamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca surathud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka danbahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur ibnathoillahdengan keras: “Wahai Kamal tidak ada diantara kita yang celaka”.Demi menyaksikan karomah agung seperti iniibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan ibnuathoillah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satumurid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat ibnathoillahsedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqamibrahim, di Masa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya padateman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsungterperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puasdengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” Lalu si muridmenjawab : “Tuanku saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arifbillah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainyasaja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya.
Ibn Atho’illah wafat
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebutwali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alambarzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasahal-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisahdengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
He is son of Sunan Ampel, which means also the grandson of Maulana Malik Ibrahim. His first name was Raden Makdum Ibrahim. Born in 1465 AD is estimated from a woman named Nyi Ageng Manila, the daughter of a duke in Tuban.
Sunan Bonang boarding school to learn religion from his father in Ampel Denta. Once old enough, he ventured to call in different corners of the island of Java. At first he was preaching in Kediri, which is majority Hindu community. There he founded Daha Deny Mosque.
He later settled in the Bonang-Lasem small village in Central Java, about 15 miles east of Apex. In the village he built the place pesujudan / shrine as well as boarding schools are now known by the name of Watu screen. He became known also as the first official imam Sultanate Demak, and even had time to become commander in chief. Nevertheless, Sunan Bonang never stop his habit to wander into areas very difficult. He often visited remote areas in Tuban, Pati, Madura and Bawean. On this island, in 1525 AD he died. His remains were interred in Tuban, west of Great Mosque, after a hotly contested by the public could Bawean and Tuban.
Unlike the straightforward Sunan Giri in jurisprudence, the doctrine of Sunan Bonang ahlussunnah teaching style combines mysticism and orthodox salaf line. He mastered the science of fiqh, usuludin, Sufism, arts, literature and architecture. Sunan Bonang Society also known as an expert to find water sources in arid places. Sunan Bonang cored on teaching philosophy 'love' ('isyq). Very similar to the trend Jalalludin Rumi. According to Bonang, love with faith, intuitive knowledge (supreme knowledge) and obedience to Allah SWT or haq al yaqqin. That teaching is popularly conveyed through the media arts community preferred. In this case, Sunan Bonang shoulder to shoulder with its main disciple, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang many literary birth of seclusion, or song of imagery. One is "Suluk Wijil" which seems influenced by the book of Al Shidiq Abu Sa'id Al Khayr (d. 899). Suluknya much use of mirror imagery, marine crane or birds. An approach that is also used by Ibn Arabi, Fariduddin Attar, Rumi and Hamzah Fansuri. Sunan Bonang was also composed the Javanese gamelan which was thick with the aesthetics of Hindu, by giving new nuances. He is the creator of Javanese gamelan as it is now, by adding bonang instruments. Composition when it has the feel of dhikr that encourage the love of life transedental (angelic nature). Song "Tombo Ati" is one of the works of Sunan Bonang.
SPECIALTY
In the puppet stage, Sunan Bonang is a masterful puppeteer anesthetize the audience. His passion is to compose the play and enter a unique interpretation of Islam. Pandava-tale feud Kurawa Sunan Bonang interpreted as a battle between the nafs (negation) and 'isbah (reassurance).
Syaikh Ihsan lahir pada 1901 M. dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH. Dahlan dan Ny. Artimah. KH. Dahlan, ayah Syaikh Ihsan, adalah seorang kiai yang tersohor pada masanya; dia pula yang merintis pendirian Pondok Pesantren Jampes pada tahun 1886 M.
Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang nasab Syaikh Ihsan dari jalur ibu. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa ibu Syaikh Ihsan adalah Ny. Artimah, putri dari KH. Sholeh Banjarmelati-Kediri. Sementara itu, dari jalur ayah, Syaikh Ihsan adalah putra KH. Dahlan putra KH. Saleh, seorang kyai yang berasal dari Bogor Jawa Barat, yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung jati (Syayrif Hidayatullah) Cirebon.
Terkait dengan nasab, yang tidak dapat diabaikan adalah nenek Syaikh Ihsan (ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny. Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil besar dalam membentuk karakter Syaikh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula mengalir darah para kyai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir putra K. Yahuda, seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika urutan nasabnya diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu, Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syaikh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur dari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya.
Pertumbuhan dan Rihlah ‘Ilmiah
Syaikh Ihsan kecil, atau sebut saja Bakri kecil, masih berusia 6 tahun ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Setelah perceraian itu, Bakri kecil tinggal di lingkungan pesantren bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan diasuh oleh neneknya, Ny. Isti’anah.
Semasa kecil, Bakri telah memiliki kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki daya ingat yang kuat. Ia juga tekun membaca buku, baik yang berupa kitab-kitab agama maupun bidang lain, termasuk majalah dan Koran. Selain itu, satu hal yang nyeleneh adalah kesukaannya menonton wayang. Di mana pun pertunjukan wayang digelar, Bakri kecil akan mendatanginya; tak peduli apakah seorang dalang sudah mahir ataukah pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya yang kuat, ia menjadi paham benar berbagai karakter dan cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur dan berdebat dengan seorang dalang yang pertujukan wayangnya melenceng dari pakem.
Kebiasan Bakri kecil yang membuat risau seluruh keluarga adalah kesukaannya berjudi. Meski judi yang dilakukan Bakri bukan sembarang judi, dalam arti Bakri berjudi hanya untuk membuat kapok para penjudi dan Bandar judi, tetap saja keluarganya merasa bahwa perbuatan Bakri tersebut telah mencoreng nama baik keluarga. Adalah Ny. Isti’anah yang merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri, suatu hari mengajaknya berziarah ke makam para leluhur, khususnya makam K. Yahuda di Lorog Pacitan. Di makam K. Yahuda inilah Ny. Isti’anah mencurahkan segala rasa khawatir dan prihatinnya atas kebandelan cucunya itu.
Konon, beberapa hari setelah itu, Bakri kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda. Dalam mimpinya, K. Yahuda meminta Bakri untuk menghentikan kebiasaan berjudi. Akan tetapi, Karena Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap tegas. Ia mengambil batu besar dan memukulnya ke kepala Bakri hingga hancur berantakan. Mimpi inilah yang kemudian menyentak kesadaran Bakri; sejak saat itu ia lebih kerap menyendiri, merenung makna keberadaannya di dunia fana.
Setelah itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia keluar dari pesantren ayahnya untuk melalang buana mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Beberapa pesantren yang sempat disinggahi oleh Bakri diantaranya:
1.Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin (paman Bakri sendiri),
2.Pondok Pesantren Jamseran Solo,
3.Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
4.Pondok Pesantren Mangkang Semarang,
5.Pondok Pesantren Punduh Magelang
6.Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
7.Pondok Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
Yang unik dari rihlah ‘ilmiah yang dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak pernah menghabiskan banyak waktu di pesantren-pesantren tersebut. Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Peantren Jamseran ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan ‘memboyong’ ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.
Satu lagi yang unik, di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu ‘menyamar’. Ia tidak mau dikenal sebagai ‘gus’ (sebutan anak Kyai); tidak ingin diketahui identitas aslinya sebagai putra Kyai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah Gus dari Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain.
Mengasuh Pesantren dan Masyarakat
Pada 1926, Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya diganti menjadi Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan, dipanggil oleh Allah SWT. Semenjak itu, kepemimpinan PP Jampes dipercayakan kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi, dia mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan suka rela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkan kepada Ihsan. Sejak saat itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
Ada banyak perkembangan signifikan di Pesantren Jampes setelah Syaikh Ihsan diangkat sebagai pengasuh. Secara kuantitas, misalnya, jumlah santri terus bertambah dengan pesat dari tahun ke tahun (semula ± 150 santri menjadi ± 1000 santri) sehingga PP Jampes harus diperluas hingga memerlukan 1,5 hektar tanah. Secara kualitas, materi pelajaran juga semakin terkonsep dan terjadwal dengan didirikannya Madrasah Mafatihul Huda pada 1942.
Sebagai seorang Kyai, Syaikh Ihsan mengerahkan seluruh perhatian, pikiran dan segenap tenaganya untuk ‘diabdikan’ kepada santri dan pesantren. Hari-harinya hanya dipenuhi aktivitas spiritual dan intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat jama’ah, shalat malam, muthola’ah kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun seluruh waktunya didedikasikan untuk santri, ternyata Syaikh Ihsan tidak melupakan masyarakat umum. Syaikh Ihsan dikenal memiliki lmu hikmah dan menguasai ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar santri, Syaikh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai daerah yang meminta bantuannya.
Pada masa revolusi fisik 1945, Syaikh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. PP Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan republik yang hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta doa restu Syaikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syaikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih PP Jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syaikh Ihsan membuka gerbang pesantrenya lebar-lebar.
Wafat dan Warisan Syaikh Ihsan
Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil oleh Allah SWT, pada usia 51 tahun. Dia meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur (kertas: karya-karyanya yang ‘abadi’) maupun dalam shudur (memori: murid-muridnya).
Beberapa murid Syaikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah: (1) Kiai Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban; (2) KH. Zubaidi di Mantenan Blitar; (3) KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap; (4) KH. Busyairi di Sampang Madura; (5) K. Hambili di Plumbon Cirebon; (6) K. Khazin di Tegal, dan lain-lain.
Sumbangan Syaikh Ihsan yang sangat besar adalah karya-karya yang ditinggalkannya bagi masyarakat muslim Indonesia, bahkan umat Islam seluruh dunia. Sudah banyak pakar yang mengakui dan mengagumi kedalaman karya-karya Syaikh Ihsan, khususnya masterpiecenya, siraj ath-Thalibin, terutama ketika kitab tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab- al-Halab. Sayangnya, di antara kitab-kitab karangan Syaikh Ihsan, baru siraj ath-Thalibinlah yang mudah didapat. Itu pun baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat pesantren sebab belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Berikut daftar karya Syaikh Ihsan Jampes yang terlacak:
1.Tashrih al-Ibarat (syarah dari kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), terbit pada 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas ilmu falak (astronomi).
2.Siraj ath-Thalibin (syarah dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali), terbit pada 1932 setebal ± 800 halaman. Buku ini mengulas tasawuf.
3.Manahij al-Imdad (syarah dari kitab Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari), terbit pada 1940 setebal ± 1088 halaman, mengulas tasawuf.
4.Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi puitik [plus syarah] dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hokum merokok dan minum kopi.
(Dihimpun dari berbagai sumber, terutama dari buku “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri” karya KH. Busyro A. Mughni [t.p., t.t.] dan buku “Jejak Sepiritual Kiai Jampes” karya Murtadho Hadi [Pustaka Pesantren, 2007])